Sabtu, 23 Januari 2010

Pemimpin yang baik tidak berusaha berkuasa terus

Pemimpin yang baik tidak berusaha berkuasa terus


"Dr. Anthony D' Souza adalah salah satu pembicara dan pelatih kepemimpinan tingkat internasional yang paling dicari. Ia teman baik Rick Warren, Paus Yohanes II, Paus Benedict, Mother Theresa, John Haggai, Presiden Gandhi, dll. Ia juga sering menjadi pembicara di Harvard & Georgetown University, United Nations, Council of World Leaders." demikian bunyi SMS yang dikirimkan kepada GetLife untuk mengikuti seminar sehari seharga Rp 1.000.000,- di Jakarta dengan pembicara Dr. Anthony D' Souza.

Ketika akhirnya GL bertemu dengan Dr. D'Souza dalam konferensi pers dan wawancara khusus, kesan bahwa ia adalah ‘selebritis' tingkat dunia, terasa sangat jauh dari sosoknya. Ia tampak lebih sebagai bapak yang sabar dan sederhana, sesuai dengan model kepemimpinan yang diajarkannya yaitu sebagai gembala (shepherd), pelayan (servant) dan pengurus (steward).

Dr. D'Souza yang telah melatih ribuan pemimpin dari ratusan negara ini menjelaskan tentang tiga model kepemimpinan tersebut dalam bukunya yang berjudul ‘Empowering Leadership' yang dikeluarkan oleh Haggai Institute. Di buku tersebut, John E. Haggai, pendiri Haggai Institute, menyatakan bahwa ia sendiri telah lebih dari 55 kali mendengarkan kuliah Dr. D'Souza - lebih sering dari kuliah siapa pun dalam kehidupan dewasanya. Kini buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Trisewu Leadership Institute dengan judul ‘Proactive Visionary Leadership'.

Saat ini, Dr. D'Souza menjabat sebagai Direktur Xavier Institute of Leadership dan Chaplain dari Association of Christian Businessman in India. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, ia menjadi Konsultan PBB dalam bidang Kesejahteraan Sosial di New York dan Konsultan di World Council of Churches di Jenewa. Berikut ini adalah wawancara GetLife dengan Dr. D'Souza:

Kepemimpinan berhubungan dengan paradigma. Bagaimana caranya supaya orang memiliki paradigma yang tepat mengenai kepemimpinan?

Hal ini berhubungan dengan persepsi. Kecuali Anda bisa memahami persepsi orang lain, mereka tidak akan berubah. Bahkan di antara orang Kristen sendiri, ada begitu banyak perpecahan. Masing-masing saling curiga satu dengan yang lainnya, padahal mimpi Tuhan Yesus adalah agar kita semua jadi satu. Kita terlalu disibukkan dengan ritual serta aktivitas religus dan bukannya berfokus pada Yesus Kristus, satu-satunya faktor yang bisa menyatukan dan membuat kita melihat orang lain dari mata-Nya. Jika kita bisa begitu, akan terjadi perubahan paradigma di antara orang-orang Kristen.

Apa metoda terbaik untuk memberdayakan orang lain?

Tergantung dari siapa yang Anda hadapi, yang pasti Anda harus mengenal mereka sebelum bisa memberdayakannya. Karena itu membina hubungan (relationship) merupakan hal yang penting sekali.

Apakah mungkin memberdayakan orang lain jika ia sendiri tidak memiliki pemimpin yang bisa menjadi teladan baginya?

Jika Anda orang Kristen, buatlah target agar Anda bisa menjadi pemimpin yang menjadi teladan (exemplary leader) dengan mengambil contoh kepemimpinan Yesus Kristus. Seringkali kita mudah sekali menyalahkan orang lain: menyalahkan pemimpin politik, bisnis, gereja, dan sebagainya, tapi lupa melihat pada diri sendiri.

Apakah seseorang harus diberdayakan dulu secara maksimal sebelum bisa memberdayakan orang lain?

Tidak, itu sebuah proses.

Kualitas seperti apa yang harus ada dalam diri seorang pemimpin?

Setiap kali memberi seminar di India, Afrika, Amerika Latin, Eropa maupun Amerika Serikat, saya selalu bertanya "kualitas seperti apa yang Anda cari dari seorang pemimpin?" Dan jawaban universal-nya, yang bukan cuma berlaku di kalangan Kristen saja adalah "kami ingin pemimpin yang memiliki KEJUJURAN dan INTEGRITAS." Ini yang paling utama. Tapi selain karakter, hal lain yang mereka harapkan dari seorang pemimpin adalah BELAS KASIH (compassion).

Selain itu, jika Anda adalah pemimpin, mereka juga ingin Anda memiliki KOMPETENSI untuk memimpin. Dan kompetensi berarti Anda bisa memberikan arahan yang jelas dan konkrit. Untuk itu Anda harus memiliki visi dan misi. Visi adalah gambaran mental mengenai apa yang akan Anda lakukan dan ingin Anda capai. Setelah punya visi dan misi yang jelas, Anda harus membuat goal yang realistis untuk mencapai visi tersebut. Jangan buat goal yang tidak realistis dan terlalu idealis supaya Anda percaya bahwa Anda bisa mencapainya. Goal itu juga harus menantang (challenging) supaya Anda bisa terus termotivasi. Jika sebagai pemimpin Anda sendiri ragu-ragu dengan visi dan misi Anda, maka akan terjadi kekacauan dalam organisasi.

Hal lain yang dicari dari seorang pemimpin adalah KOMITMEN. Pemimpin harus berkomitmen terhadap visi serta misi organisasi dan berani bayar harga untuk hal itu. Jadi kesimpulannya, pemimpin yang berkualitas adalah mereka yang memiliki Character (karakter), Compassion (belas kasih), Competence (kompetensi) dan Commitment (komitmen).

Apa yang menjadi goal realistis Anda dalam 5 tahun ke depan?

Saat ini fokus saya adalah melatih para pemimpin top karena waktu hidup saya terbatas dan saya harus menggunakannya dengan efektif. Mereka-lah yang kemudian akan melatih kembali orang-orang yang ada di sekitar mereka.

Di antara para pemimpin, siapa orang yang paling Anda kagumi?

Saya mengagumi Nelson Mandela. Ia dipenjara selama 27 tahun, tapi ketika keluar ia tidak bicara tentang pembalasan dendam. Sebaliknya, ia bicara tentang kesatuan karena hal utama yang ada di pikirannya adalah melakukan yang terbaik bagi bangsanya. Kesediaan untuk mengampuni seperti itu tidak mudah, dan itulah yang sangat saya kagumi darinya. Ketika Mandela akhirnya berkuasa, ia tidak berusaha untuk bertahan di situ, tapi segera mempersiapkan pengganti.

Di negara saya, Mahatma Gandhi adalah contoh pemimpin yang tidak berusaha untuk terus berkuasa. Di Asia Tenggara, Lee Kuan Yew adalah contoh yang baik. Ia disebut ‘Mister Singapore', tapi ia mempersiapkan pengganti. Ada banyak contoh, terutama di negara-negara Afrika, dimana para pemimpin yang berkuasa tidak mau menyerahkan kekuasannya kepada orang lain. Menurut saya hal itu menyedihkan sekali karena jika Anda memaksa untuk terus berkuasa, pada akhirnya Anda akan ditolak.

Pemimpin yang baik tidak berusaha untuk terus-menerus berkuasa karena Anda menjadi pemimpin bukan demi kehormatan, kemuliaan atau otoritas Anda sendiri, tapi untuk melayani orang lain. Seringkali orang mengatakan "saya mau menjadi pemimpin, presiden atau ketua supaya bisa melayani orang lain." Tapi begitu terpilih, mereka lupa akan hal itu dan lebih memilih untuk melayani kepentingan diri sendiri. Memang, kesediaan untuk berkorban dan melepaskan ego bukan hal yang mudah - tapi pemimpin yang otentik adalah mereka yang bersedia berkorban bagi orang lain.

Jim Collins membuat buku yang baik sekali yang berjudul ‘From Good to Great'. Di situ ia menyatakan bahwa pemimpin tingkat kelima adalah mereka yang rendah hati dan bersedia untuk berkorban. Tidak mengejutkan bahwa kesediaan untuk berkorban dan kerendahan hati adalah kualitas utama dari para pemimpin besar. Para direktur dan manager korporasi di seminar-seminar kepemimpinan yang saya lakukan di India memilih Mother Theresa sebagai figur pemimpin teladan. Ketika saya bertanya kenapa mereka memilih dia, padahal ia bukan pebisnis, mereka menjawab bahwa kesediaan untuk berkorban (the spirit of self-sacrifice) adalah yang paling penting. Dan mereka sangat menghargai serta mengaguminya karena hal itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar