Jumat, 29 Januari 2010

APA TUGAS PEMIMPIN ITU

tugas pemimpin adalah?

Saat Laksamana William Frederick Halsey Jr. diangkat memimpin salah satu gugus tugas pada perang Pasifik melawan Jepang, ia meminta saran dari Laksamana Nimitz, seniornya. Laksamana Nimitz hanya punya satu nasihat buat dia: “There’s one thing you’re expected to do when you’re in command:….. Command!”


Tugas pemimpin adalah memimpin. Jadi ia harus memiliki jiwa, sikap, mental, jurus-jurus seorang pemimpin. Bisa membawa orang yang dipimpinnya kepada cita-cita bersama yang diidamkan.
Kalau saya perhatikan lagi, setiap pemimpin cenderung memimpin sebagaimana ia pernah dipimpin. Observasi ini terdengar sederhana, namun memiliki implikasi yang penting. Khususnya terhadap pengembangan kepemimpinan. Jika seorang pemimpin tidak memiliki mentor dengan prinsip, pola, dan perilaku kepemimpinan yang baik, maka kemungkinan besar ia juga tidak akan menjadi pemimpin yang baik. Tidak heran kita terus-menerus dikecewakan oleh pemimpin dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Memang pemimpin dapat memimpin berdasarkan sikap natural yang inheren dalam dirinya, atau program pelatihan kepemimpinan yang ia ikuti, atau bahkan buku yang ia baca. Namun probabilitasnya sangat kecil dibanding yang pertama, yaitu kecenderungan memimpin sebagaimana ia pernah dipimpin.

Fungsi pemimpin pun bukan sekedar menciptakan pengikut, tapi melahirkan pemimpin. Keberadaan pemimpin bukan untuk membuat generasi pengikut yang selalu berada dalam bayang-bayangnya. Bukan untuk kloning pengikut. Namun pemimpin eksis untuk melahirkan para pemimpin baru yang bahkan lebih baik dari dirinya. Proses ini sulit dan kompleks, sama seperti proses kelahiran seorang bayi.

Saya berharap anda-anda yang mengaku dirinya pemimpin dapat menjadi seorang pemimpin yang benar-benar memimpin, bukan mencari keuntungan bagi diri sendiri atau bagi-bagi kekuasaan kepada rekan-rekan anda sendiri. Memimpinlah…karena untuk itu anda dipilih (baca: dipanggil). Akhir kata saya ucapkan, selamat memimpin. Enough said.

Sabtu, 23 Januari 2010

CONTOH STRUKTUR ORGANISASI

CONTOH STRUKTUR ORGANISASI

Kamis, 31 Desember 2009 , Posted by dj.96 at 07:33
CONTOH STRUKTUR ORGANISASI
Berikut ini adalah contoh dari struktur organisisi pada KARANG TARUNA RT008/007



Organisasi karang taruna ini termasuk ke dalam organisasi informal, yang dimana organisasi tersebut dipimpin oleh ketua karang taruna nya itu sendiri yang berperan untuk memimpin jalan nya organisasi tersebut dan bertanggung jawab atas dasar semua yang dilakukan.
Selain itu di sini juga terdapat wakil ketua karang taruna yang berperan membantu ketua dalam segala hal, jika ketua sedang tidak bisa melalukukan pekerjaan nya, tugas dari wakil ini adalah untuk membantu ketua tersebut.
Adapun jabatan lain nya yaitu, seketaris dan bendahara. dimana mereka mempunyai peran yang berbeda-beda. yang pertama bendahara mempunyai tugas untuk mengumpulkan dana dan menyimpan dana yang telah di kumpulkan jika ada suatu acara, maupun uang kas. tugas bendahara juga termasuk berat karena tanggung jawab nya sangat besar.
lalu kalau seketaris berperan untuk membuat undangan-undangan dan surat- surat mengenai kegiatan karang taruna tersebut.
Satu lagi yaitu anggota, anggota juga sangat berperan dalam organisasi tersebut, karena setiap organisasi harus memiliki anggota, anggota juga mempunyai tugas untuk membantu jalan nya suatu kegiatan yang akan di lakukan misalkan pada saat 17 agustusan dan acara-acara lain nya.

MENJADI PEMIMPIN YANG OTORITER

Setiap mendengar kata otoriter, kita pasti akan terbayang
dengan seorang pimpinan yang mengharuskan segala kehendaknya terlaksana oleh
bawahannya. Otoriter juga terkadang dinisbatkan kepada seseorang yang berjiwa
‘pemaksa’, sampai-sampai orang lain dibuatnya tidak memiliki pilihan lain
kecuali pilihan yang ia sodorkan. Orang-orang seperti ini banyak disekitar
kita. Kita terkadang menyebutnya sebagai ayah atau ibu, manajer, atasan, lurah,
gubernur, bahkan presiden.

Dalam Oxford Dictionary,
otoriter (authority) didefinisikan sebagai power to give orders; expert. Dalam
dunia politik atau pemerintahan dan bisnis, definisi pertama yang sering
digunakan. Authority menunjukkan sifatnya
sedangkan otoriter merupakan pelakunya. Kira-kira seperti itu. Power to give orders bisa berarti
kekuasaan tak terbatas (unlimited power)
yang membuat orang yang berkuasa tersebut bisa seenaknya saja memberikan (to give) perintah (orders). Singkatnya, seperti yang
sudah saya definisikan sebelumnya, memerintah orang lain seenaknya.

Beberapa negara menerapkan konsep otoriter ini dengan sangat
baik. Beberapa yang lain cukup kerepotan dan kebanyakan malah hancur
berantakan. Dalam jangka pendek, otoriter memang sangat bermanfaat dan memegang
peranan penting untuk memotong jalur birokrasi dan perintah yang
berbelit-belit; di sisi lain, otoriter menanamkan benih-benih pemberontakan
karena, sama seperti halnya kita, semua manusia memiliki pilihannya sendiri.

Lain halnya dengan kehidupan militer yang memang dekat
dengan sistem otoriter, masyarakat sipil dan bisnis tidak terbiasa dengan
sistem ini. Anda bisa tahu mengapa? Dalam militer, otoriter dapat berhasil
dengan baik karena para komandan mereka memberikan contoh yang sama persis
dengan apa yang mereka perintahkan. Perintah itu pun hanya terbatas pada
perintah yang bersifat umum, bukan pribadi. Kalaupun pribadi, saya berani
bertaruh bahwa para komandan mereka telah melakukannya terlebih dahulu.

Dunia sipil dan bisnis tidak dibangun dengan cara bagaimana
dunia militer dibangun. Sipil dan bisnis memiliki banyak sekali kemungkinan
pemecahan yang kreatif. Jika memang ingin menerapkan konsep otoriter dalam
dunia ini, sipil dan bisnis, Anda harus mampu memberikan contoh signifikan yang
sama persis dengan apa yang Anda perintahkan. Militer memiliki apa yang tidak,
atau belum, dimiliki oleh dunia sipil dan bisnis yaitu: kepemimpinan dan
keteladanan.

Anda dapat mencari contoh pemimpin otoriter dunia yang
berhasil. Mereka pasti memiliki kapasitas minimal dua hal diatas. Lainnya akan
jatuh berantakan dalam waktu dekat. Dan memang, hampir di manapun di permukaan
bumi ini, sistem otoriter tak akan bertahan dalam waktu yang sangat lama.

Kini kita kembali kepada dunia kecil kita dimana kita hidup
dan beraktifitas. Apapun jabatan Anda, entah sebagai bawahan atau atasan, Anda
dapat menemui sikap otoriter ini dimana-mana. Bila Anda sebagai bawahan, Anda
mungkin merasakan kejamnya otoriter. Namun bila Anda berada di ‘atas’, Anda
tahu betapa nikmatnya menjadi otoriter.

Jika Anda sebagai korban otoriterianisme
(aliran otoriter), pesan saya bersabarlah. Jika Anda mampu, ajukan keberatan
tentang sikap tersebut. Diskusikan dan temukan jalan keluarnya. Jika Anda tidak
mampu, bersabar dengan tekanan mungkin tidak lebih baik, namun berjuang
setengah-setengah pun sama buruknya. Jika dapat, hindarilah dan keluarlah
secepat mungkin.

Jika Anda adalah seorang otoritarianisme,
saya sarankan untuk menjalankannya dengan sangat baik. Bila perlu jalankan
dengan sempurna. Maksud saya, jalankan dengan penuh ‘keteladanan’ dan ‘kepemimpinan’
yang ‘berkualitas’. Jika Anda memaksa bawahan atau anak buah Anda untuk
melakukan sesuatu sekarang juga dengan sesempurna mungkin, lakukan hal tersebut
terlebih dahulu oleh Anda di depan mereka semua. Sama seperti seorang komandan
yang berlari terlebih dahulu sebelum menyuruh anak buahnya berlari. Saya yakin
Anda tidak akan bisa (atau tidak akan mau) kecuali Anda seorang komandan
militer.

Jika Anda tidak dapat melakukan keteladanan dengan
‘sempurna’, maka sebaiknya tinggalkan sikap otoritarianisme
Anda. Pilihan Anda hanya dua: menjadi seorang yang terbuka dan bersahabat atau
jatuh dengan rasa sakit yang tidak tertahankan. Tidak ada pilihan lain untuk
Anda.

Pepatah mengatakan, “intolerance is the last
defence of insecure
.” Inilah biasanya yang dilakukan para otoritarianisme ketika mereka
melihat tanda-tanda kejatuhan mereka. Mereka bersikap intoleransi. Mereka
menjadi uring-uringan. Kalap. Menghalalkan segala cara. Menindas dengan
kekuasaan. Membungkus perilaku jahatnya dengan kebohongan. Membentengi dirinya
dengan jabatan. Mencari aman.

Lebih jauh lagi, sikap intoleransi ini terlihat pada
bagaimana mereka memperlakukan orang-orang yang menentang mereka. Intimidasi. Ancaman.
Perang urat syaraf. Penyerangan secara fisik. Pemboikotan. Pemfitnahan. Pemecatan.
Hingga rencana pembunuhan yang tersusun rapi. Semuanya hanya karena sikap egoisme
pribadi yang disebut dengan otoriter.

Sudahkah kita bercermin? Apakah sikap-sikap dalam dua paragraf
terakhir diatas ada dalam diri kita? Jika Anda menemukan salah satunya, selamat!
Anda telah jujur pada diri sendiri. Tapi jika tidak, hanya ada dua kemungkinan:
Anda bukan seorang otoriter atau Anda adalah seorang otoriter sejati!

Pemimpin yang baik tidak berusaha berkuasa terus

Pemimpin yang baik tidak berusaha berkuasa terus


"Dr. Anthony D' Souza adalah salah satu pembicara dan pelatih kepemimpinan tingkat internasional yang paling dicari. Ia teman baik Rick Warren, Paus Yohanes II, Paus Benedict, Mother Theresa, John Haggai, Presiden Gandhi, dll. Ia juga sering menjadi pembicara di Harvard & Georgetown University, United Nations, Council of World Leaders." demikian bunyi SMS yang dikirimkan kepada GetLife untuk mengikuti seminar sehari seharga Rp 1.000.000,- di Jakarta dengan pembicara Dr. Anthony D' Souza.

Ketika akhirnya GL bertemu dengan Dr. D'Souza dalam konferensi pers dan wawancara khusus, kesan bahwa ia adalah ‘selebritis' tingkat dunia, terasa sangat jauh dari sosoknya. Ia tampak lebih sebagai bapak yang sabar dan sederhana, sesuai dengan model kepemimpinan yang diajarkannya yaitu sebagai gembala (shepherd), pelayan (servant) dan pengurus (steward).

Dr. D'Souza yang telah melatih ribuan pemimpin dari ratusan negara ini menjelaskan tentang tiga model kepemimpinan tersebut dalam bukunya yang berjudul ‘Empowering Leadership' yang dikeluarkan oleh Haggai Institute. Di buku tersebut, John E. Haggai, pendiri Haggai Institute, menyatakan bahwa ia sendiri telah lebih dari 55 kali mendengarkan kuliah Dr. D'Souza - lebih sering dari kuliah siapa pun dalam kehidupan dewasanya. Kini buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Trisewu Leadership Institute dengan judul ‘Proactive Visionary Leadership'.

Saat ini, Dr. D'Souza menjabat sebagai Direktur Xavier Institute of Leadership dan Chaplain dari Association of Christian Businessman in India. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, ia menjadi Konsultan PBB dalam bidang Kesejahteraan Sosial di New York dan Konsultan di World Council of Churches di Jenewa. Berikut ini adalah wawancara GetLife dengan Dr. D'Souza:

Kepemimpinan berhubungan dengan paradigma. Bagaimana caranya supaya orang memiliki paradigma yang tepat mengenai kepemimpinan?

Hal ini berhubungan dengan persepsi. Kecuali Anda bisa memahami persepsi orang lain, mereka tidak akan berubah. Bahkan di antara orang Kristen sendiri, ada begitu banyak perpecahan. Masing-masing saling curiga satu dengan yang lainnya, padahal mimpi Tuhan Yesus adalah agar kita semua jadi satu. Kita terlalu disibukkan dengan ritual serta aktivitas religus dan bukannya berfokus pada Yesus Kristus, satu-satunya faktor yang bisa menyatukan dan membuat kita melihat orang lain dari mata-Nya. Jika kita bisa begitu, akan terjadi perubahan paradigma di antara orang-orang Kristen.

Apa metoda terbaik untuk memberdayakan orang lain?

Tergantung dari siapa yang Anda hadapi, yang pasti Anda harus mengenal mereka sebelum bisa memberdayakannya. Karena itu membina hubungan (relationship) merupakan hal yang penting sekali.

Apakah mungkin memberdayakan orang lain jika ia sendiri tidak memiliki pemimpin yang bisa menjadi teladan baginya?

Jika Anda orang Kristen, buatlah target agar Anda bisa menjadi pemimpin yang menjadi teladan (exemplary leader) dengan mengambil contoh kepemimpinan Yesus Kristus. Seringkali kita mudah sekali menyalahkan orang lain: menyalahkan pemimpin politik, bisnis, gereja, dan sebagainya, tapi lupa melihat pada diri sendiri.

Apakah seseorang harus diberdayakan dulu secara maksimal sebelum bisa memberdayakan orang lain?

Tidak, itu sebuah proses.

Kualitas seperti apa yang harus ada dalam diri seorang pemimpin?

Setiap kali memberi seminar di India, Afrika, Amerika Latin, Eropa maupun Amerika Serikat, saya selalu bertanya "kualitas seperti apa yang Anda cari dari seorang pemimpin?" Dan jawaban universal-nya, yang bukan cuma berlaku di kalangan Kristen saja adalah "kami ingin pemimpin yang memiliki KEJUJURAN dan INTEGRITAS." Ini yang paling utama. Tapi selain karakter, hal lain yang mereka harapkan dari seorang pemimpin adalah BELAS KASIH (compassion).

Selain itu, jika Anda adalah pemimpin, mereka juga ingin Anda memiliki KOMPETENSI untuk memimpin. Dan kompetensi berarti Anda bisa memberikan arahan yang jelas dan konkrit. Untuk itu Anda harus memiliki visi dan misi. Visi adalah gambaran mental mengenai apa yang akan Anda lakukan dan ingin Anda capai. Setelah punya visi dan misi yang jelas, Anda harus membuat goal yang realistis untuk mencapai visi tersebut. Jangan buat goal yang tidak realistis dan terlalu idealis supaya Anda percaya bahwa Anda bisa mencapainya. Goal itu juga harus menantang (challenging) supaya Anda bisa terus termotivasi. Jika sebagai pemimpin Anda sendiri ragu-ragu dengan visi dan misi Anda, maka akan terjadi kekacauan dalam organisasi.

Hal lain yang dicari dari seorang pemimpin adalah KOMITMEN. Pemimpin harus berkomitmen terhadap visi serta misi organisasi dan berani bayar harga untuk hal itu. Jadi kesimpulannya, pemimpin yang berkualitas adalah mereka yang memiliki Character (karakter), Compassion (belas kasih), Competence (kompetensi) dan Commitment (komitmen).

Apa yang menjadi goal realistis Anda dalam 5 tahun ke depan?

Saat ini fokus saya adalah melatih para pemimpin top karena waktu hidup saya terbatas dan saya harus menggunakannya dengan efektif. Mereka-lah yang kemudian akan melatih kembali orang-orang yang ada di sekitar mereka.

Di antara para pemimpin, siapa orang yang paling Anda kagumi?

Saya mengagumi Nelson Mandela. Ia dipenjara selama 27 tahun, tapi ketika keluar ia tidak bicara tentang pembalasan dendam. Sebaliknya, ia bicara tentang kesatuan karena hal utama yang ada di pikirannya adalah melakukan yang terbaik bagi bangsanya. Kesediaan untuk mengampuni seperti itu tidak mudah, dan itulah yang sangat saya kagumi darinya. Ketika Mandela akhirnya berkuasa, ia tidak berusaha untuk bertahan di situ, tapi segera mempersiapkan pengganti.

Di negara saya, Mahatma Gandhi adalah contoh pemimpin yang tidak berusaha untuk terus berkuasa. Di Asia Tenggara, Lee Kuan Yew adalah contoh yang baik. Ia disebut ‘Mister Singapore', tapi ia mempersiapkan pengganti. Ada banyak contoh, terutama di negara-negara Afrika, dimana para pemimpin yang berkuasa tidak mau menyerahkan kekuasannya kepada orang lain. Menurut saya hal itu menyedihkan sekali karena jika Anda memaksa untuk terus berkuasa, pada akhirnya Anda akan ditolak.

Pemimpin yang baik tidak berusaha untuk terus-menerus berkuasa karena Anda menjadi pemimpin bukan demi kehormatan, kemuliaan atau otoritas Anda sendiri, tapi untuk melayani orang lain. Seringkali orang mengatakan "saya mau menjadi pemimpin, presiden atau ketua supaya bisa melayani orang lain." Tapi begitu terpilih, mereka lupa akan hal itu dan lebih memilih untuk melayani kepentingan diri sendiri. Memang, kesediaan untuk berkorban dan melepaskan ego bukan hal yang mudah - tapi pemimpin yang otentik adalah mereka yang bersedia berkorban bagi orang lain.

Jim Collins membuat buku yang baik sekali yang berjudul ‘From Good to Great'. Di situ ia menyatakan bahwa pemimpin tingkat kelima adalah mereka yang rendah hati dan bersedia untuk berkorban. Tidak mengejutkan bahwa kesediaan untuk berkorban dan kerendahan hati adalah kualitas utama dari para pemimpin besar. Para direktur dan manager korporasi di seminar-seminar kepemimpinan yang saya lakukan di India memilih Mother Theresa sebagai figur pemimpin teladan. Ketika saya bertanya kenapa mereka memilih dia, padahal ia bukan pebisnis, mereka menjawab bahwa kesediaan untuk berkorban (the spirit of self-sacrifice) adalah yang paling penting. Dan mereka sangat menghargai serta mengaguminya karena hal itu.

MENJADI PEMIMPIN YANG BAIK ITU BAGAIMANA?

Ini Cara Menjadi Pemimpin Yang Baik

Saudaraku yang dikasihi Allah SWT, untuk menjadi pemimpin yang baik dan disegani tentu membutuhkan waktu dan proses interaksi yang panjang dengan anak buah. Beberapa cara yang bisa dilakukan adalah :
1. Jadilah teladan bagi anak buah. Hal ini bukan berarti kita harus sempurna dulu akhlaqnya, tapi paling tidak harus konsisten antara apa yang kita ucapkan dengan tindakan kita di hadapan anak buah. Misalnya, kita mengatakan bahwa rapat akan dimulai pukul 8.00, maka kita harus konsisten memulai rapat pada jam 8.00 tersebut.
2. Rajinlah memberikan “setoran” kebaikan kepada anak buah. Mulai dari hal yang kecil, seperti memulai berjabat tangan, memulia tersenyum dan menyapa lebih dahulu. Sampai yang ‘berat’ seperti menolong anak buah yang kesulitan. Lakukan secara rutin “setoran” tersebut walau kecil daripada hanya sesekali walaupun besar. Ini sesuai dengan hadits Nabi, “Sesungguhnya Allah lebih mencintai amal yang rutin walau sedikit” (HR. Muslim).
3. Miliki kompetensi yang dibutuhkan oleh organisasi Anda. Tunjukan kompetensi itu di depan anak buah Anda agar mereka tahu bahwa mereka dipimpin oleh orang yang ahli di bidangnya, sehingga mereka segan kepada Anda.
4. Jangan pernah bosan untuk berkomunikasi dengan anak buah. Jelaskan visi dan kemauan Anda kepada anak buah secara berulang-ulang. Kalau bisa dengan metode yang berbeda-beda agar mereka tidak bosan dengan penjelasan Anda. Pemimpin yang baik tidak boleh pendiam. Ia harus mau dan sabar menjelaskan keinginannya kepada anak buah secara berualang-ulang.
5. Jaga penampilan Anda “sedikit” di atas mereka. Jika anak buah Anda pakai kaos, Anda pakai kemeja. Jika mereka berinfaq 1000 rupiah, Anda berinfaq lebih dari itu. Yang penting, penampilan (secara fisik) harus lebih rapi dan bersih dari anak buah. Coba Anda lihat Soekarna yang gagah dan rapi. Begitu pun Nabi Muhammad saw.
Semoga dengan lima cara ini, Anda dapat menjadi pemimpin yang baik dan disegani oleh anak buah Anda. Tentang cara membangun kembali kepercayaan, sama saja dengan lima cara tersebut.
Selamat memimpin !
Salam Berkah !

7 SYARAT JADI PEMIMPIN YANG BAIK

1. Problem Solver

Seorang pemimpin dituntut mampu membuat keputusan penting dan mencari jalan keluar dari permasalahan. Mulailah bertindak tegas, dan hapulah cara plin-plan. Jangan pula memupuk kebiasaan melarikan diri dari tanggung jawab. Sebagai ‘nakhoda’, andalah yang berkewajiban mengemudikan ‘kapal’ ke arah yang benar.

2. Bersikap Positif

Setiap orang tidak luput dari kesalahan, bila hal ini menimpa anak buah anda jangan langsung mencecarnya dengan segudang omelan. Selidiki latar belakang permasalahan sehingga anda bisa bersikap proporsional. Jika anda melakukan kesalahan, tidak perlu ragu mengakuinya dan meminta maaf kepada orang-orang terkait, dan jangan lupa melakukan perbaikan untuk kesalahan tersebut.

3. Komunikasi

Karyawan sebaik apa pun akan kehilangan arah bila dibiarkan ‘jalan dalam gelap’. Sebagai pemimpin anda perlu menerangkan sejelas mungkin tentang tujuan bersama yang hendak diraih dan strategi mencapainnya. Bekali pula anak buah dengan penilaian terhadap hasil kerjanya selama ini, sehingga mereka bisa belajar cara melakukan tugas dengan benar. Pelihara komunikasi 2 arah dengan bawahan dan mintalah feedback dari mereka setiap kali anda meluncurkan kebijakan baru.

4. Menjadi Inspirasi

Seorang pemimpin harus bisa menerapkan standar dan jadi contoh bagi anak buahnya. Jadilah inspirasi bagi bawahan. Up date benak anda dengan informasi terkini, tidak pelit membagi pengalaman, dan patuhi peraturan yang anda buat sendiri.

5. Tumbuhkan Motivasi

Berikan penghargaan terhadap prestasi sekecil apa punyang dilakukan anak buah. Bahkan karyawan yang paling telat sekalipun akan berusaha memperbaiki diri apabila anda memujinya ketika ia datang tepat waktu (apalagi jika pujian itu diberikan tanpa terkesan menyindir). Secara berkala , ajukan pula pertanyaan dan tantangan yang mampu merangsang kreativitas berpikir anak buah. Misa, meminta ide mereka untuk proyek kecil.

6. Hubungan Baik

Jalin hubungan profesional dan interpersonal yang harmonis dengan anak buah. Ingat, dibalik statusnya sebagai bawahan, karyawan memiliki pribadi yang unik dan masalah tertentu. Luangkan waktu untuk mengenal karyawan secara personal sehingga anda melakukan coaching tepat sasaran.

7. Turun Gunung

Anda tidak boleh merasa bebas dari kewajiban dan melakukan ‘dirty job’ atau pekerjaan anak buah. Seorang pemimpin akan dihargai anak buahnya apabila ia bersedia turun ke lapangan tak asal main perintah. Semakin hebat lagi hormat anak buah bila pekerjaan itu bisa diselesaikan dengan lancar. Itu menunjukkan kualitas anda pada anak buah.

CIRI-CIRI KEPEMIMPINAN

Model-Model Kepemimpinan

Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers). Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.

Studi-studi kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang diperagakan oleh para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi (contingency model). Dengan model kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan antara watak pribadi, variabel-variabel situasi dan keefektifan pemimpin.

Studi-studi tentang kepemimpinan pada tahun 1970-an dan 1980-an, sekali lagi memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang mempengaruhi keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin. Hasil-hasil penelitian pada periode tahun 1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan bahwa pemimpin dan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari (crucial), namun kedua hal tersebut disadari sebagai komponen organisasi yang sangat komplek.

Dalam perkembangannya, model yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai model kepemimpinan transformasional. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.
Berikut ini akan dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai
model-model kepemimpinan yang ada dalam literatur.

(a) Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak
individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran,
kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi
mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974).

Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi tingkat signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970).

Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa "leadership is a relation that exists between persons in a social situation, and that persons who are leaders in one situation may not necessarily be leaders in other situation" (Stogdill 1970). Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan pada periode awal ini, yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut.

(b) Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership)
Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan
dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studi
tentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.

Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu.

(c) Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations).

Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya.

(d) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).

Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).

Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu
dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).

MenurutPath-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.

(e) Model Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership)

Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi.

Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or goingbeyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harusmempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar.

Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu.

Dalam buku mereka yang berjudul "Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership", Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's". Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi. Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996). Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978).

Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomenafenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership).

Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigma untuk mengembangkan Praktekorganisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasaldari kata Yunani meta yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran.
Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi persaingan baru.

Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.